Pages

Thursday, May 23, 2013

Cerpen: Kelabu



Serbuan awan hitam mulai mengepung langit biru, perlahan mengikis sinar mentari sore di sebuah SMA. Tampak seorang gadis sedang berdiri tegak di pintu gerbang sekolah itu. Dari raut wajahnya tampak jika ia sedang gelisah. Sesekali pandangannya tertuju ke arah jam tangannya yang telah menunjukkan pukul 14.25, lalu kembali menuju jalanan yang sepi di depannya.
“Hei Nita... Kok jam segini belum pulang?” tanya seorang perempuan yang berseragam sama dengannya.
“Hei juga, Sel. Iya nih, aku belum dijemput.” sahutnya.
“Ya ampun, kasian ya kamu. Kalau gitu ikut sama aku aja, gimana?”
“Ah, nggak usah. Kita kan nggak searah, hari ini pun sedang mendung. Nanti malah nyusahin kamu.”
"Ya udah kalau gitu. Aku pulang duluan ya?” salamnya sembari mengemudikan motor menjauhi gadis itu.
Nita adalah seorang murid di SMA Negeri 3 Sintang. Saat ini ia duduk di kelas dua belas jurusan IPA. Ia mempunyai pacar bernama Dimas. Mereka telah berpacaran selama dua tahun. Pertama kali mereka bertemu yaitu ketika Nita berkunjung ke rumah sahabat karibnya, Irma. Saat itu, Dimas yang merupakan tetangga Irma hampir menabrak Nita di depan rumah Irma. Nita sempat marah kepadanya. Namun karena sikap Dimas yang penyabar dan ramah, perlahan meluluhkan hati Nita. Sejak saat itu mereka sering berhubungan jarak jauh, dan akhirnya hubungan mereka mencapai ke tahap berpacaran.
“Ah... terpaksa deh naik angkot lagi. Dulu waktu Dimas  yang jemput gak pernah kayak gini! Kenapa ya orang tuaku? Apa mereka tak sayang lagi denganku?” gumam Nita dalam hati.
Waktu telah menunjukkan pukul 14.55, namun tak seorang pun yang datang menjemput dirinya. Sudah kali ketiga dalam minggu ini Nita harus menggunakan angkutan umum. Ia tak habis pikir mengapa kedua orang tuanya bisa melupakan anak semata wayangnya.
Rasa putus asa mulai merasuki benak Nita. Dengan yakin ia mulai melangkahkan kakinya menuju jalanan dan hendak mencari angkutan umum. Namun langkahnya segera terhenti. Seruan adzan yang terdengar merdu keluar dari pengeras suara surau sekolahnya membuat hati Nita tersentuh. Segera ia berbalik arah dan menuju ke surau. Sesampainya di surau, ia melihat seorang lelaki tengah mengumandangkan adzan. Lelaki itu tak lain adalah Bagas, teman sekelas Nita. Dengan lekas Nita menuju ke belakang surau untuk berwudhu, lalu segera melaksanakan shalat Ashar. Setelah selesai, Nita langsung bergegas hendak pulang. Langit semakin rapat dengan awan hitamnya.
“Tak dijemput lagi ya?” tanya Bagas sambil berjalan mendekati Nita.
“Iya nih, Gas. Harus naik angkot lagi jadinya. Orang tuaku memang sudah tak sayang lagi padaku.” keluh Nita.
“Hus, jangan seperti itu. Mereka orang tuamu, mereka pasti punya alasan kenapa mereka tak menjemputmu.”
“Yang mereka pikirkan sekarang hanya karir dan karir! Untuk menjemput anaknya saja mereka tak sempat. Bukankah itu berarti mereka tak menyayangiku lagi?!”
“Mungkin mereka ingin kamu jadi mandiri. Kamu sendiri kan yang bilang kalau ingin kuliah di Bandung? Bagaimana mereka bisa mengizinkan kamu jika hanya pulang sekolah saja harus dijemput?”
“Hmm, mungkin saja. Ya sudah, aku pulang dulu ya Gas? Nampaknya hujan sebentar lagi akan turun.”
Nita bergegas ke jalan raya. Namun ketika sampai di gerbang sekolah, rintik air hujan tiba-tiba menghujam tubuhnya. Seakan hujan itu melarang dirinya untuk pulang. Arah angin yang menuju ke tenggara membuat Nita tak dapat berteduh di bawah gerbang sekolah. Ia berlari secepat mungkin ke surau untuk berlindung. Di surau tampak Bagas hendak menutup pintu utama agar air hujan tak membasahi bagian dalam surau. Saat melihat Nita, Bagas tersenyum dan membiarkan pintu tetap terbuka hingga Nita melompat masuk.
“Tenang, nampaknya hujan ini takkan lama.” ucap Bagas.
“Ya, semoga saja. Aku tak suka jika harus menunggu seperti ini.” jawab Nita sambil terus menatap keluar jendela.
Pandangan Nita tertuju pada jalanan yang tersiram air ujan. Jutaan debu-debu yang berlarian tersapu air yang jatuh dari langit, perlahan gugur satu per satu dan berubah menjadi tanah yang menuju pinggiran jalan. Tak tersisa apapun di jalanan itu.
Di antara suara hujan yang berlabuh di atap surau, terdengar suara sayup-sayup sebuah kendaraan bermotor. Perlahan suara itu semakin membesar, pertanda kendaraan itu mendekat ke arahnya. Nita pun sibuk mencari darimana datangnya suara itu. Tak lama kemudian sebuah motor tampak dari arah timur dengan dua orang yang berada di atasnya. Tampak jika mereka sedang mencari tempat berteduh. Singgahlah mereka di gerbang sekolah, lalu  menuju surau karena derasnya hujan masih saja membasahi mereka di gerbang.
Penasaran akan siapa mereka, tak sedetik pun Nita melepaskan pandangannya dari kedua orang itu. Semakin dekat, rasa ingin tahunya semakin memuncak. Namun ketika kedua orang tua itu tiba di depan surau dan membuka helm yang dikenakan mereka, muncul pandangan penuh amarah dari raut wajah Nita. Ia tak percaya dengan apa yang sedang ia lihat. Lelaki dan perempuan itu adalah orang yang sangat dikenal oleh Nita.
“Lebih baik kita berteduh di sini.” ucap lelaki itu.
“Ya, sekalian saja kita shalat dulu. Aku takut hujan ini akan lama.” jawab si perempuan.
Sang lelaki berjalan menuju pintu dan berusaha membukanya. Pintu itu terkunci dari dalam. Dengan sigap Nita bersembunyi di balik kain-kain agar sang lelaki itu tidak melihatnya saat mengintip dari jendela.
“Mas! Bisa tolong buka pintu ini?” lelaki itu berkata pada Bagas.
Bagas pun segera mendekati pintu. Namun ketika hendak membukanya, Nita menghadangnya.
“Tolong tunggu hingga aku bersembunyi. Dan jangan bilang jika ada aku!” perintah Nita ke Bagas dengan berbisik.
Nita segera menuju kotak mimbar yang terletak di sudut surau dan bersembunyi di baliknya. Ia terus memperhatikan gerak-gerik kedua orang itu melalu lubang kecil di kotak tersebut. kedua matanya bagai sebuah kamera pengintai yang tak pernah melepaskan pandangan dari mangsanya.
Kedua orang itu melakukan shalat secara berjamaah. Setelah selesai, mereka tidak langsung pergi karena hujan yang masih deras. Mereka duduk bersandar di lemari samping kotak mimbar itu sambil terus berbincang mengenai segala hal. Nita mendengar perbincangan dua orang itu dengan seksama.
 Tak ada yang aneh dari perbincangan kedua orang tersebut, layaknya pasangan kebanyakan. Namun bagi Nita, setiap ucapan yang terungkap dari mulut mereka adalah pisau-pisau yang menyayat hatinya. Semua amarahnya yang telah terkumpulkan hilang tergantikan dengan kesedihan melihat pacarnya duduk bersama dengan sahabatnya. Tidak hanya itu, ternyata mereka telah berpacaran semenjak seminggu yang lalu.
“Bagaimana jika Nita mengetahui hubungan kita?” tanya Irma kepada Dimas.
“Cepat atau lambat ia akan tahu. Jika saat itu tiba, maka aku akan memutuskannya.” jawab Dimas.
“Tapi itu akan sangat menyakitkan dirinya.”
“Dia sudah lebih dulu menyakitiku! Seperti kebanyakan orang, dia selalu mecoba menjadi yang paling sempurna saat pertama kali berhubungan. Namun, habis manis sepah dibuang. Sekarang sifat aslinya telah muncul. Ia semakin angkuh dengan sikapnya, tak lagi mendengarkan perkataanku.”
“Lalu, mengapa memilih aku?”
“Aku telah mengenalmu sejak lama. Aku tahu semua sifatmu, dan semua itu sempurna di mataku.”
Nita tak dapat lagi membendung air matanya. Ingin sekali ia keluar dan membinasakan kedua orang itu, namun kepedihan akan ucapan-ucapan yang terlontar membuat seluruh tubuhnya kaku. Pikirannya melayang. Ucapan Dimas bagai sebuah memori rusak yang terus mengulang di dalam otaknya.
Tiba-tiba kotak tempat Nita bersembunyi itu bergerak secara perlahan. Tampak sepasang tangan sedang menariknya. Nita tak peduli dengan apapun. Tak ada lagi masa lalu maupun masa depan di benaknya.
“Ini bukanlah sebuah akhir. Suatu saat awan kelabu di jiwamu itu pasti akan hilang.” ucap Bagas.
“Tidak! Ini adalah sebuah akhir. Jiwaku telah mati, maka akan lebih baik jika raga ini juga menyusulnya.” bantah Nita sambil berusaha untuk berdiri.
“Mati bukanlah jawaban yang tepat. Itu hanya akan memperburuk semuanya.”
“Lalu apa yang harus kulakukan? Orang tuaku tak lagi peduli padaku! Begitu pula dengan pacar dan sahabatku!” Nita berkata sembari mencari dimana Dimas dan Irma, namun mereka telah pergi.
“Kau dapat melakukan apapun. Kau masih punya kedua tanganmu, begitu juga kedua kakimu. Kau masih dapat berbicara. Kau juga masih bisa melihat. Masalahmu kini hanya ada di dalam pikiranmu. Bukanlah hal yang susah untuk menyembuhkan luka di jiwa ini, asalkan ada keinginan dari penderitanya.” ucap Bagas.
Nita terdiam sejenak, dengan segenap tenaga ia berusahakan menghentikan tangisannya. Lalu ia bergegas menuju ke pintu dan memasang sepatu. Nita langsung pergi tanpa berpamitan dengan Bagas.
Air tak lagi berjatuhan dari langit, namun awan kelabu masih saja menyelimutinya.  Nita berjalan dengan perlahan sembari berusaha menguasai dirinya. Kejadian di surau itu telah menghabiskan seluruh semangatnya. Kini semua yang ada di pandangannya bagaikan musuh. Bebatuan yang ia lewatkan bagaikan duri-duri yang selau berusaha menusuknya. Angin terus saja menertawainya. Bahkan pepohonan pun tak lagi peduli padanya.
Kilat menyambar-nyambar, diikuti oleh guntur yang menggelegar. Langit tak lagi mampu menahan tangisnya. Perlahan turun satu per satu rintik hujan, semakin lama semakin banyak dan cepat. Nita masih terus berusaha berjalan menuju rumahnya. Air mata kembali menetes dari kedua matanya. Meleleh menuju kedua pipinya, namun segera terhapus oleh air hujan yang terus menusuk seluruh tubuhnya.
Sesampainya di rumah, sang mentaari telah berpulang ke ufuk barat. Suara adzan maghrib bersahut-sahutan menghiasinya. Tak ada seorang pun yang terlihat oleh pandangan Nita, hanya suara katak-katak yang bernyanyi riang karena mendapat hujan  sore itu. Semakin mendekat ke rumah, langkah Nita terasa semakin berat. Ia merasa tubuhnya mulai menolak kondisi yang dialaminya. Tiba-tiba dari mulut Nita menyembur seluruh isi lambungnya. Tak hanya itu, kepalanya mulai merasa pusing. Semakin lama rasanya semakin kuat. Ia berteriak sekuat mungkin, namun tak seorang pun muncul untuk menolongnya. Rasa sakitnya semakin menguat, ia tak sanggup untuk menahannya lagi. Perlahan pandangan Nita kabur. Cahaya yang diterima matanya perlahan lenyap, hingga kegelapan sempurna menutupinya.
Seminggu kemudian, tampak seorang lelaki berlari dengan tergesa-gesa di sebuah koridor rumah sakit. Sesekali ia bertanya kepada suster yang ia temui di jalan, lalu kembali berlari. Hingga di dekat sebuah ruangan UGD, ia melihat sepasang suami istri sedang terduduk lemas dan terus berdoa. Ketika ia hendak menghampiri kedua orang tua itu, tiba-tiba datang seorang lelaki menghadangnya.
“Lebih baik kau jangan ke sana. Itu hanya akan memperburuk keadaan.” ucap Bagas.
“Apa urusanmu! Aku ingin menemui pacarku! Jangan kau halangi aku!” perintah Dimas kepada Bagas sembari mendorongnya.
“Tidakkah kau mengerti?! Kau telah menyiksa Nita hingga dia seperti ini! Dan kini kau ingin menyiksa orang tuanya juga?!!” sahut Bagas dengan geram sehabis memukul muka Dimas.
Dimas yang hendak membalas pukulan dari Bagas terdiam sejenak. Ia bingung dengan perkataan Bagas.
“Apa maksudmu?” tanya Dimas.
“Nita mengidap kanker otak stadium akhir sejak  dua tahun yang lalu. Dokter bilang hidupnya takkan lama lagi. Orang tua Nita sudah berusaha merahasiakan ini agar Nita tidak terbebani pikirannya. Tapi perbincanganmu dengan Irma di surau sekolah minggu lalu telah membuat Nita jadi seperti ini!” jawab Bagas.
Dimas terkejut mendengar perkataan Bagas. Ia tak menyangka jika segala hal tentang dirinya dan Nita harus berakhir seperti ini. Dengan sekuat tenaga ia menahan tangis, kemudian berusaha melewati Bagas untuk melihat kondisi Nita. Tetapi Bagas masih saja menahannya.
“Bacalah! Ini adalah pesan dari Nita untukmu. Saat ini Nita sedang kritis. Kau takkan dapat berbicara dengannya.” ucap Bagas sembari melempar sepucuk surat kepada Dimas.
Dimas memandang ke arah Bagas, kemudian mengambil surat pemberian Nita yang terjatuh. Tangannya bergetar saat membuka surat itu. Dengan mata yang berkaca-kaca dibacanya surat itu secara perlahan. Setiap baris surat itu membuat jiwa Dimas seperti kering terbakar amarah akan diri sendiri. Digenggamnya surat itu dengan sekuat-kuatnya. Lalu ia menghantam Bagas hingga terjatuh, dan berlari menuju ruangan tempat Nita dirawat.
Seratus meter dapat ditempuh olehnya hanya dengan sembilan detik. Namun ketika dua puluh meter dari ruangan Nita, langkahnya terhenti. Ia melihat seorang dokter keluar dari ruangan Nita. Tampak kedua orang tua Nita mendatanginya dan berharap jika dokter itu akan memberikan kabar baik, begitu juga dengan Dimas. Namun dokter itu tak berkata apa-apa. Ia hanya menggelengkan kepalanya, sebuah tanda yang tidak diharapkan oleh mereka. Kedua orang tua Nita menangis histeris. Mereka masih tak dapat percaya anak semata wayangnya harus pergi secepat ini.
Dimas terkulai lemas melihat hal itu. Genggaman tangannya mengendur, sehingga surat pemberian Nita terjatuh ke lantai. Dipandangnya surat yang sudah lusuh itu. Ia membacanya berulang kali. Setiap baris di dalamnya membuat Dimas tak lagi dapat menahan tangis. Surat itu adalah pesan terakhir Nita untuk Dimas dan Irma.
Cinta itu datang dari Tuhan, maka karena Tuhan pula cinta itu akan pergi
Terima kasih atas semua canda dan tawa yang kalian berikan
Dan maafkan jika aku tak bisa menjadi sempurna untuk kalian
Jagalah dia yang kau cintai dengan seluruh jiwa dan ragamu
Kalian telah menjadi yang terbaik untuk mewarnai hidupku



Author: Widigdo Bayu Pramono

7 comments:

  1. Nita, Dimas, Irma, dan Bagas itu siapa ? :/
    Perasaan gak ada lah anak SMAN 3 yang namanya itu -_-

    ReplyDelete
  2. Trus maunya diganti pake nama siapa?
    Liza gitu? :|

    ReplyDelete
  3. cerpen along jak pake nama ubay kan, bukan bayu

    ReplyDelete
  4. Mantap cerpen-nya mba, sukses ya. Salam dari saya.

    ReplyDelete
  5. Oh ya lupa, kalo sempat mampir juga di blog-ku http://krisnasuryablog.blogspot.com/
    Terima kasih.

    ReplyDelete

Ditunggu comment dari kalian, gratis :)