Serbuan awan hitam mulai mengepung langit biru, perlahan
mengikis sinar mentari sore di sebuah SMA. Tampak seorang gadis sedang berdiri
tegak di pintu gerbang sekolah itu. Dari raut wajahnya tampak jika ia sedang
gelisah. Sesekali pandangannya tertuju ke arah jam tangannya yang telah
menunjukkan pukul 14.25, lalu kembali menuju jalanan yang sepi di depannya.
“Hei Nita... Kok jam segini belum pulang?” tanya seorang
perempuan yang berseragam sama dengannya.
“Hei juga, Sel. Iya nih, aku belum dijemput.” sahutnya.
“Ya ampun, kasian ya kamu. Kalau gitu ikut sama aku aja,
gimana?”
“Ah, nggak usah. Kita kan nggak searah, hari ini pun
sedang mendung. Nanti malah nyusahin kamu.”
Nita adalah seorang murid di SMA Negeri 3 Sintang. Saat
ini ia duduk di kelas dua belas jurusan IPA. Ia mempunyai pacar bernama Dimas.
Mereka telah berpacaran selama dua tahun. Pertama kali mereka bertemu yaitu
ketika Nita berkunjung ke rumah sahabat karibnya, Irma. Saat itu, Dimas yang
merupakan tetangga Irma hampir menabrak Nita di depan rumah Irma. Nita sempat
marah kepadanya. Namun karena sikap Dimas yang penyabar dan ramah, perlahan
meluluhkan hati Nita. Sejak saat itu mereka sering berhubungan jarak jauh, dan
akhirnya hubungan mereka mencapai ke tahap berpacaran.
“Ah... terpaksa deh naik angkot lagi. Dulu waktu
Dimas yang jemput gak pernah kayak gini!
Kenapa ya orang tuaku? Apa mereka tak sayang lagi denganku?” gumam Nita dalam
hati.
Waktu telah menunjukkan pukul 14.55, namun tak seorang
pun yang datang menjemput dirinya. Sudah kali ketiga dalam minggu ini Nita
harus menggunakan angkutan umum. Ia tak habis pikir mengapa kedua orang tuanya
bisa melupakan anak semata wayangnya.
Rasa putus asa mulai merasuki benak Nita. Dengan yakin ia
mulai melangkahkan kakinya menuju jalanan dan hendak mencari angkutan umum.
Namun langkahnya segera terhenti. Seruan adzan yang terdengar merdu keluar dari
pengeras suara surau sekolahnya membuat hati Nita tersentuh. Segera ia berbalik
arah dan menuju ke surau. Sesampainya di surau, ia melihat seorang lelaki
tengah mengumandangkan adzan. Lelaki itu tak lain adalah Bagas, teman sekelas
Nita. Dengan lekas Nita menuju ke belakang surau untuk berwudhu, lalu segera
melaksanakan shalat Ashar. Setelah selesai, Nita langsung bergegas hendak
pulang. Langit semakin rapat dengan awan hitamnya.
“Tak dijemput lagi ya?” tanya Bagas sambil berjalan
mendekati Nita.
“Iya nih, Gas. Harus naik angkot lagi jadinya. Orang
tuaku memang sudah tak sayang lagi padaku.” keluh Nita.
“Hus, jangan seperti itu. Mereka orang tuamu, mereka
pasti punya alasan kenapa mereka tak menjemputmu.”
“Yang mereka pikirkan sekarang hanya karir dan karir!
Untuk menjemput anaknya saja mereka tak sempat. Bukankah itu berarti mereka tak
menyayangiku lagi?!”
“Mungkin mereka ingin kamu jadi mandiri. Kamu sendiri kan
yang bilang kalau ingin kuliah di Bandung? Bagaimana mereka bisa mengizinkan
kamu jika hanya pulang sekolah saja harus dijemput?”
“Hmm, mungkin saja. Ya sudah, aku pulang dulu ya Gas?
Nampaknya hujan sebentar lagi akan turun.”
Nita bergegas ke jalan raya. Namun ketika sampai di
gerbang sekolah, rintik air hujan tiba-tiba menghujam tubuhnya. Seakan hujan
itu melarang dirinya untuk pulang. Arah angin yang menuju ke tenggara membuat
Nita tak dapat berteduh di bawah gerbang sekolah. Ia berlari secepat mungkin ke
surau untuk berlindung. Di surau tampak Bagas hendak menutup pintu utama agar
air hujan tak membasahi bagian dalam surau. Saat melihat Nita, Bagas tersenyum
dan membiarkan pintu tetap terbuka hingga Nita melompat masuk.
“Tenang, nampaknya hujan ini takkan lama.” ucap Bagas.
“Ya, semoga saja. Aku tak suka jika harus menunggu
seperti ini.” jawab Nita sambil terus menatap keluar jendela.
Pandangan Nita tertuju pada jalanan yang tersiram air
ujan. Jutaan debu-debu yang berlarian tersapu air yang jatuh dari langit,
perlahan gugur satu per satu dan berubah menjadi tanah yang menuju pinggiran
jalan. Tak tersisa apapun di jalanan itu.
Di antara suara hujan yang berlabuh di atap surau,
terdengar suara sayup-sayup sebuah kendaraan bermotor. Perlahan suara itu
semakin membesar, pertanda kendaraan itu mendekat ke arahnya. Nita pun sibuk
mencari darimana datangnya suara itu. Tak lama kemudian sebuah motor tampak dari
arah timur dengan dua orang yang berada di atasnya. Tampak jika mereka sedang
mencari tempat berteduh. Singgahlah mereka di gerbang sekolah, lalu menuju surau karena derasnya hujan masih saja
membasahi mereka di gerbang.
Penasaran akan siapa mereka, tak sedetik pun Nita
melepaskan pandangannya dari kedua orang itu. Semakin dekat, rasa ingin tahunya
semakin memuncak. Namun ketika kedua orang tua itu tiba di depan surau dan
membuka helm yang dikenakan mereka, muncul pandangan penuh amarah dari raut
wajah Nita. Ia tak percaya dengan apa yang sedang ia lihat. Lelaki dan
perempuan itu adalah orang yang sangat dikenal oleh Nita.
“Lebih baik kita berteduh di sini.” ucap lelaki itu.
“Ya, sekalian saja kita shalat dulu. Aku takut hujan ini
akan lama.” jawab si perempuan.
Sang lelaki berjalan menuju pintu dan berusaha
membukanya. Pintu itu terkunci dari dalam. Dengan sigap Nita bersembunyi di
balik kain-kain agar sang lelaki itu tidak melihatnya saat mengintip dari
jendela.
“Mas! Bisa tolong buka pintu ini?” lelaki itu berkata
pada Bagas.
Bagas pun segera mendekati pintu. Namun ketika hendak
membukanya, Nita menghadangnya.
“Tolong tunggu hingga aku bersembunyi. Dan jangan bilang
jika ada aku!” perintah Nita ke Bagas dengan berbisik.
Nita segera menuju kotak mimbar yang terletak di sudut
surau dan bersembunyi di baliknya. Ia terus memperhatikan gerak-gerik kedua
orang itu melalu lubang kecil di kotak tersebut. kedua matanya bagai sebuah
kamera pengintai yang tak pernah melepaskan pandangan dari mangsanya.
Kedua orang itu melakukan shalat secara berjamaah.
Setelah selesai, mereka tidak langsung pergi karena hujan yang masih deras.
Mereka duduk bersandar di lemari samping kotak mimbar itu sambil terus
berbincang mengenai segala hal. Nita mendengar perbincangan dua orang itu
dengan seksama.
Tak ada yang aneh
dari perbincangan kedua orang tersebut, layaknya pasangan kebanyakan. Namun
bagi Nita, setiap ucapan yang terungkap dari mulut mereka adalah pisau-pisau
yang menyayat hatinya. Semua amarahnya yang telah terkumpulkan hilang
tergantikan dengan kesedihan melihat pacarnya duduk bersama dengan sahabatnya.
Tidak hanya itu, ternyata mereka telah berpacaran semenjak seminggu yang lalu.
“Bagaimana jika Nita mengetahui hubungan kita?” tanya
Irma kepada Dimas.
“Cepat atau lambat ia akan tahu. Jika saat itu tiba, maka
aku akan memutuskannya.” jawab Dimas.
“Tapi itu akan sangat menyakitkan dirinya.”
“Dia sudah lebih dulu menyakitiku! Seperti kebanyakan
orang, dia selalu mecoba menjadi yang paling sempurna saat pertama kali
berhubungan. Namun, habis manis sepah dibuang. Sekarang sifat aslinya telah
muncul. Ia semakin angkuh dengan sikapnya, tak lagi mendengarkan perkataanku.”
“Lalu, mengapa memilih aku?”
“Aku telah mengenalmu sejak lama. Aku tahu semua sifatmu,
dan semua itu sempurna di mataku.”
Nita tak dapat lagi membendung air matanya. Ingin sekali
ia keluar dan membinasakan kedua orang itu, namun kepedihan akan ucapan-ucapan
yang terlontar membuat seluruh tubuhnya kaku. Pikirannya melayang. Ucapan Dimas
bagai sebuah memori rusak yang terus mengulang di dalam otaknya.
Tiba-tiba kotak tempat Nita bersembunyi itu bergerak
secara perlahan. Tampak sepasang tangan sedang menariknya. Nita tak peduli
dengan apapun. Tak ada lagi masa lalu maupun masa depan di benaknya.
“Ini bukanlah sebuah akhir. Suatu saat awan kelabu di
jiwamu itu pasti akan hilang.” ucap Bagas.
“Tidak! Ini adalah sebuah akhir. Jiwaku telah mati, maka
akan lebih baik jika raga ini juga menyusulnya.” bantah Nita sambil berusaha
untuk berdiri.
“Mati bukanlah jawaban yang tepat. Itu hanya akan
memperburuk semuanya.”
“Lalu apa yang harus kulakukan? Orang tuaku tak lagi
peduli padaku! Begitu pula dengan pacar dan sahabatku!” Nita berkata sembari
mencari dimana Dimas dan Irma, namun mereka telah pergi.
“Kau dapat melakukan apapun. Kau masih punya kedua
tanganmu, begitu juga kedua kakimu. Kau masih dapat berbicara. Kau juga masih
bisa melihat. Masalahmu kini hanya ada di dalam pikiranmu. Bukanlah hal yang
susah untuk menyembuhkan luka di jiwa ini, asalkan ada keinginan dari penderitanya.”
ucap Bagas.
Nita terdiam sejenak, dengan segenap tenaga ia
berusahakan menghentikan tangisannya. Lalu ia bergegas menuju ke pintu dan
memasang sepatu. Nita langsung pergi tanpa berpamitan dengan Bagas.
Air tak lagi berjatuhan dari langit, namun awan kelabu
masih saja menyelimutinya. Nita berjalan
dengan perlahan sembari berusaha menguasai dirinya. Kejadian di surau itu telah
menghabiskan seluruh semangatnya. Kini semua yang ada di pandangannya bagaikan
musuh. Bebatuan yang ia lewatkan bagaikan duri-duri yang selau berusaha
menusuknya. Angin terus saja menertawainya. Bahkan pepohonan pun tak lagi
peduli padanya.
Kilat menyambar-nyambar, diikuti oleh guntur yang
menggelegar. Langit tak lagi mampu menahan tangisnya. Perlahan turun satu per
satu rintik hujan, semakin lama semakin banyak dan cepat. Nita masih terus
berusaha berjalan menuju rumahnya. Air mata kembali menetes dari kedua matanya.
Meleleh menuju kedua pipinya, namun segera terhapus oleh air hujan yang terus
menusuk seluruh tubuhnya.
Sesampainya di rumah, sang mentaari telah berpulang ke
ufuk barat. Suara adzan maghrib bersahut-sahutan menghiasinya. Tak ada seorang
pun yang terlihat oleh pandangan Nita, hanya suara katak-katak yang bernyanyi
riang karena mendapat hujan sore itu.
Semakin mendekat ke rumah, langkah Nita terasa semakin berat. Ia merasa
tubuhnya mulai menolak kondisi yang dialaminya. Tiba-tiba dari mulut Nita
menyembur seluruh isi lambungnya. Tak hanya itu, kepalanya mulai merasa pusing.
Semakin lama rasanya semakin kuat. Ia berteriak sekuat mungkin, namun tak
seorang pun muncul untuk menolongnya. Rasa sakitnya semakin menguat, ia tak
sanggup untuk menahannya lagi. Perlahan pandangan Nita kabur. Cahaya yang
diterima matanya perlahan lenyap, hingga kegelapan sempurna menutupinya.
Seminggu kemudian, tampak seorang lelaki berlari dengan
tergesa-gesa di sebuah koridor rumah sakit. Sesekali ia bertanya kepada suster
yang ia temui di jalan, lalu kembali berlari. Hingga di dekat sebuah ruangan
UGD, ia melihat sepasang suami istri sedang terduduk lemas dan terus berdoa.
Ketika ia hendak menghampiri kedua orang tua itu, tiba-tiba datang seorang
lelaki menghadangnya.
“Lebih baik kau jangan ke sana. Itu hanya akan
memperburuk keadaan.” ucap Bagas.
“Apa urusanmu! Aku ingin menemui pacarku! Jangan kau
halangi aku!” perintah Dimas kepada Bagas sembari mendorongnya.
“Tidakkah kau mengerti?! Kau telah menyiksa Nita hingga
dia seperti ini! Dan kini kau ingin menyiksa orang tuanya juga?!!” sahut Bagas
dengan geram sehabis memukul muka Dimas.
Dimas yang hendak membalas pukulan dari Bagas terdiam
sejenak. Ia bingung dengan perkataan Bagas.
“Apa maksudmu?” tanya Dimas.
“Nita mengidap kanker otak stadium akhir sejak dua tahun yang lalu. Dokter bilang hidupnya
takkan lama lagi. Orang tua Nita sudah berusaha merahasiakan ini agar Nita
tidak terbebani pikirannya. Tapi perbincanganmu dengan Irma di surau sekolah
minggu lalu telah membuat Nita jadi seperti ini!” jawab Bagas.
Dimas terkejut mendengar perkataan Bagas. Ia tak
menyangka jika segala hal tentang dirinya dan Nita harus berakhir seperti ini.
Dengan sekuat tenaga ia menahan tangis, kemudian berusaha melewati Bagas untuk
melihat kondisi Nita. Tetapi Bagas masih saja menahannya.
“Bacalah! Ini adalah pesan dari Nita untukmu. Saat ini
Nita sedang kritis. Kau takkan dapat berbicara dengannya.” ucap Bagas sembari
melempar sepucuk surat kepada Dimas.
Dimas memandang ke arah Bagas, kemudian mengambil surat
pemberian Nita yang terjatuh. Tangannya bergetar saat membuka surat itu. Dengan
mata yang berkaca-kaca dibacanya surat itu secara perlahan. Setiap baris surat
itu membuat jiwa Dimas seperti kering terbakar amarah akan diri sendiri.
Digenggamnya surat itu dengan sekuat-kuatnya. Lalu ia menghantam Bagas hingga
terjatuh, dan berlari menuju ruangan tempat Nita dirawat.
Seratus meter dapat ditempuh olehnya hanya dengan
sembilan detik. Namun ketika dua puluh meter dari ruangan Nita, langkahnya
terhenti. Ia melihat seorang dokter keluar dari ruangan Nita. Tampak kedua
orang tua Nita mendatanginya dan berharap jika dokter itu akan memberikan kabar
baik, begitu juga dengan Dimas. Namun dokter itu tak berkata apa-apa. Ia hanya
menggelengkan kepalanya, sebuah tanda yang tidak diharapkan oleh mereka. Kedua
orang tua Nita menangis histeris. Mereka masih tak dapat percaya anak semata
wayangnya harus pergi secepat ini.
Dimas terkulai lemas melihat hal itu. Genggaman tangannya
mengendur, sehingga surat pemberian Nita terjatuh ke lantai. Dipandangnya surat
yang sudah lusuh itu. Ia membacanya berulang kali. Setiap baris di dalamnya membuat
Dimas tak lagi dapat menahan tangis. Surat itu adalah pesan terakhir Nita untuk
Dimas dan Irma.
Cinta itu datang dari Tuhan, maka karena Tuhan pula cinta
itu akan pergi
Terima kasih atas semua canda dan tawa yang kalian
berikan
Dan maafkan jika aku tak bisa menjadi sempurna untuk
kalian
Jagalah dia yang kau cintai dengan seluruh jiwa dan
ragamu
Kalian telah menjadi yang terbaik untuk mewarnai hidupku
Author: Widigdo Bayu Pramono
Nita, Dimas, Irma, dan Bagas itu siapa ? :/
ReplyDeletePerasaan gak ada lah anak SMAN 3 yang namanya itu -_-
Trus maunya diganti pake nama siapa?
ReplyDeleteLiza gitu? :|
ah, janganlah :(
ReplyDeletecerpen along jak pake nama ubay kan, bukan bayu
ReplyDeleteMantap cerpen-nya mba, sukses ya. Salam dari saya.
ReplyDeleteOh ya lupa, kalo sempat mampir juga di blog-ku http://krisnasuryablog.blogspot.com/
ReplyDeleteTerima kasih.
iya mas, terima kasih :)
ReplyDelete