Pages

Tuesday, March 12, 2013

Cerpen: Sebuah Penantian

Ini cerpen dibuat pas aku dapat tugas Bahasa Indonesia, waktu masih kelas XII, jadi udah cukup lama. Aku suka banget bikin cerpen, apalagi kalo dipaksa. Hehehe, soalnya banyak tulisan aku yang terbengkalai dan gak bakalan selesai kalo gak ada target atau paksaan :))
Selamat membaca, semoga kalian suka sama cerpen ini....


Sebuah Penantian

Sudah sekitar 5 menitan Icha termangu di depan laptop hitamnya itu. Masih ada sekitar 15 pemberitahuan dan 2 kotak masuk. Status-status terbaru dari teman-teman di dunia maya satu persatu mulai bermunculan. Tanpa basa-basi, langsung saja Icha menyukai status-status yang dianggapnya bagus ataupun menarik. Setelah itu, mata Icha langsung tertuju ke angka pemberitahuan yang berwarna merah.



Aha! Wall  yang ditunggu-tunggu oleh Icha sejak kemarin akhirnya datang juga. Ya, wall dari Nadya, sahabat dunia mayanya selama setahun ini. Mereka mulai saling kenal karena Icha mengira bahwa Nadya memiliki kegemaran yang sama dengan Icha, yaitu desain grafis. Sehingga Icha ingin mencari tahu lebih jauh tentang dunia desain grafis lewat sharing dengan teman-teman jejaring sosial berlogo huruf “F” yang dikelilingi kotak berwarna biru laut itu. Hingga sampailah pada suatu hari, Icha melihat foto-foto menarik di koleksi foto milik Nadya yang berkaitan dengan desain grafis.

Dari situlah Icha mulai chatting dengan Nadya, saling sharing apa saja yang berkaitan dengan desain grafis. Nadya yang tidak terlalu menyukai desain grafis, akhirnya memiliki ketertarikan dengan desain grafis. Hingga tersiar kabar akan adanya event besar yang bertemakan “Express your motion!”. Event ini diselenggarakan oleh salah satu kampus ternama di Indonesia, yaitu Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

Event ini bertujuan untuk mencari bibit-bibit baru yang mempunyai potensi dan kemampuan di bidang desain grafis. Reward yang ditawarkan sangat menggiurkan, yaitu berupa beasiswa masuk ke ITS tanpa tes. Siapa saja pasti tertarik untuk mengikuti event ini, tak terkecuali Icha. Namun sayang, kesempatan besar ini tak bisa diikuti oleh Icha. Karena terpaut batas usia yang telah ditetapkan oleh panitia penyelenggara. Alhasil, keinginan itu hanya dapat disimpan dalam hati dan berharap 3 tahun yang akan datang, event-event seperti itu akan diadakan kembali. Sehingga impian masa kecilnya yang tertunda itu dapat terwujud.

Tak terasa, petang kembali datang diiringi dengan merdunya suara adzan yang berkumandang. Hampir 3 jam Icha terpaku di depan laptop, lalu Icha pun segera menghentikan kegiatan yang dilakukannya. Ia segera keluar kamar menuju ke arah dapur untuk berwudhu.

****

Keesokan harinya, Nadya datang ke sekolah Icha. Ternyata Nadya adalah siswi baru di sekolahnya, MTsN Sintang. Ia pindah dari SMP Al-Azhar Pontianak. Icha merasa sangat beruntung sekali karena Nadya sekelas dengan Icha, sekaligus bisa menjadi teman sebangku Icha. Sahabat yang hanya Icha kenal di dunia maya kini selalu berada di samping Icha. Icha sangat mengerti perasaan Nadya, karena Icha sudah sering merasakan bagaimana susahnya menjadi siswi baru. Mulai dari SD sampai SMP, Icha sudah tiga kali pindah sekolah. Pekerjaan ayahnya lah yang selalu menuntut kepindahannya. Setiap menemukan lingkungan  baru, Icha harus bisa beradaptasi dengan lingkungan tersebut. Begitu juga Nadya, sama seperti Icha. Ia harus bisa beradaptasi dengan sekolah barunya.

Satu tahun kebersamaan Icha dan Nadya di MTsN membuat mereka semakin mengenal satu sama lain. Sifat Nadya yang supel dan mudah bergaul dengan orang sekitar, terkadang menimbulkan rasa iri di hati Icha. Tetapi, itulah Nadya. Walau telah memiliki banyak teman, ia tidak pernah sombong dan selalu bersikap rendah hati. Apalagi dengan sahabat terdekatnya, Icha. Hingga mereka kembali dipisahkan.

Setelah tamat SMP, Nadya terpaksa harus melanjutkan SMA di Bandung. Tapi, ia berjanji tidak akan pernah melupakan Icha, ia akan selalu menghubungi Icha. Ketika Nadya akan berangkat ke Bandung, ia memberikan sebuah kado yang berisi jilbab dan novel kesukaan Icha, yang berjudul Anne of Green Gable kepada Icha.

Satu jam sebelum keberangkatan Nadya ke Bandung, ia menyempatkan diri untuk berpamitan kepada Icha di rumah orang tua Icha yang di Pontianak. Icha tampak gelisah di depan rumahnya, ia takut kalau saja Nadya tak sempat singgah ke rumahnya. Tapi, tak lama kemudian tampak sebuah mobil sedan berwarna silver menuju rumah Icha.

Tanpa sempat mengucapkan salam, Nadya langsung bergegas menemui Icha. Ia berdiri tepat di depan Icha dan segera bersalaman dengan Icha. Icha menatap Nadya dengan penuh makna, matanya berkaca-kaca.

“Udahlah Cha…. Gak usah pake nangis gitu, nanti kita juga ketemu lagi. Aku janji deh, kapan-kapan aku ajak keluarga aku liburan ke Kalimantan. Buat ketemu kamu Cha… aku nggak akan lupa sama kamu. Kamu harus rajin belajar ya Cha… ingat janji kita, kita harus masuk ke Universitas favorit kita dengan hasil yang memuaskan. Kita nggak boleh ngebuat ortu kita kecewa, Cha…,” kata Nadya membujuk Icha.

Sebelum menjawab Nadya, Icha menghela nafas panjang sambil menahan air matanya, “Iya, tenang aja… Icha masih ingat sama janji kita. Nadya juga harus sukses ya, biar kita bisa bareng kayak dulu lagi.”

“Sip deh Icha sayang, makasih ya udah jadi sahabat Nadya yang paling baik. Aku minta maaf kalau selama ini aku banyak salah sama Icha, aku sering ngerepotin Icha…. Maafin aku ya, Cha….” Nadya memeluk Icha dengan erat, ia tak mampu lagi membendung air matanya. Tetes demi tetes air mata Nadya jatuh membasahi pipinya.

Icha terdiam sejenak. Karena selama mengenal Nadya, Icha hanya melihat Nadya menangis sebanyak dua kali. Nadya dikenal sebagai perempuan yang sangat kuat dan tegar, berbeda sekali dengan Icha. Ia selalu dibilang manja, cengeng, dan hanya bisa merepotkan orang lain.

Melihat Nadya menangis, Icha pun menjadi terharu. “Iya… Nadya gak punya salah apa-apa kok sama Icha. Malahan Icha yang sering ngerepotin Nadya. Icha senang punya sahabat kayak Nadya, makasih ya Nad..”

Icha mengambil saputangan dari sakunya, saputangan yang  ia rajut khusus untuk Nadya sebagai kenang-kenangan. Kemudian, Icha menghapus air mata Nadya. Nadya tersenyum, dan memandang Icha dengan penuh rasa kagum. Icha yang tidak pernah mengeluh dengan apapun yang Nadya lakukan kepadanya, Icha yang selalu sabar dan pengertian dengan semua ulah Nadya, dan Icha yang selalu tersenyum saat mendengar setiap keluhan Nadya. Nadya tersadar, besok sudah tak ada lagi Icha di sampingnya. Lalu, Nadya kembali memeluk Icha dengan sangat erat. Sempat terlintas di pikiran Nadya untuk membatalkan keberangkatannya, ia ingin mendapatkan kesempatan satu hari lagi bersama Icha.

Icha mencoba membuat Nadya tenang, Icha tahu Nadya pasti sangat sedih. Karena Icha juga mengalami hal yang sama, yaitu akan kehilangan seorang sahabat yang selalu menemani hari-harinya. Tetapi, Icha berusaha untuk tampak tegar dan menutupi kesedihannya di hadapan Nadya. Icha tak ingin membuat Nadya semakin terlihat sedih.

Kemudian, Icha berjalan menuju sebuah kursi yang di atasnya terdapat tas bermotif batik modern berwarna coklat muda. Icha mengambil tas tersebut dan mengeluarkan kado yang berukuran cukup besar. Kado itu berisi sebuah boneka, jilbab, sweater, dan dua buah album foto. Album foto yang pertama berisi foto-foto Icha dan Nadya, dan album foto yang kedua berisi semua hasil belajar desain Icha selama mengikuti kursus sewaktu SMP. Kado yang terbungkus rapi itu baru disiapkan Icha kemarin sore, karena Nadya tak pernah memberitahu Icha bahwa ia akan melanjutkan SMA di Bandung.

Tak terasa, Nadya telah berada selama lebih dari setengah jam di rumah Icha. Nadya pun harus segera berangkat menuju bandara.

“Aku pergi ya, Cha…,” tangisan Nadya mengiringi kepergiannya.

“Iya, hati-hati Nad…. Oh ya, jangan sampai lupa shalat ya Nadya…,” kalimat inilah yang selalu diucapkan Icha kepada Nadya.

“Oke, makasih ya Icha sayang. Assalaamu’alaikum….”

Semua percakapan itu masih diingat Icha dengan sangat jelas. Selama ia bersahabat, baru kali ini ia benar-benar merasa kehilangan. Kepergian Nadya membuat Icha menjalani liburan semester yang seharusnya menyenangkan menjadi sangat membosankan.

****

Disaat Icha melewati kesendiriannya tanpa seorang sahabat dan membutuhkan seseorang yang bisa menghibur dan menemaninya, Icha kembali dipertemukan dengan seorang lelaki yang bisa mengisi kekosongan hatinya. Lelaki itu adalah Fajar, kakak kelas Icha sewaktu Icha masih bersekolah di SD IT Pontianak dan kebetulan Fajar juga tetangga Icha saat ia masih tinggal di Pontianak. Tetapi, mereka sudah lama tak pernah bertemu. Karena sekarang Fajar sudah melanjutkan kuliah di Malang dan hanya akan pulang ke Pontianak jika libur semester.

Kebetulan sekali, sekarang Fajar sedang libur semester dan ia diajak oleh keluarganya untuk liburan ke Sintang. Mereka berkunjung ke rumah Icha, dan mulai saat itulah Fajar menjadi dekat dengan Icha. Fajar selalu memberi dukungan kepada Icha, menjadi teman curhat Icha, dan selalu menasehati Icha jika ia berbuat salah. Apalagi ketika Icha tak diizinkan untuk melanjutkan SMA di Pontianak, Icha merasa tak dipedulikan orang tuanya. Icha sangat heran mengapa orang tuanya tak mengizinkan ia untuk kembali ke Pontianak. Tetapi, Fajar selalu menyemangatinya agar Icha tetap kuat dan tegar. Fajar menjelaskan kepada Icha bahwa tidak ada orang tua yang tak menyayangi anaknya. Orang tua Icha pasti memiliki alasan dan maksud yang baik untuk masa depan Icha. Karena penjelasan dari Fajar itulah, Icha menjadi lebih mengerti akan arti kasih sayang orang tua kepada anaknya.

Mulai saat itu, Icha kembali semangat belajar. Icha tak ingin mengecewakan orang tuanya, Icha hanya ingin membuat orang tuanya bangga. Keputusan Icha sudah bulat, ia ingin masuk ke SMA Negeri 3 Sintang, yang merupakan salah satu SMA  favorit di Sintang.

Tak seperti yang Icha bayangkan, ternyata tidak mudah untuk bisa lulus seleksi penerimaan siswa-siswi baru di SMA Negeri 3 Sintang. Banyak tes yang harus ia jalani. Tapi, dengan hasil jerih payahnya, Icha bisa lulus dan masuk dalam urutan 10 besar. Icha terlihat sangat senang. Bahkan karena sangat senangnya, Icha sampai lupa memberitahukan kepada orang tuanya. Orang pertama yang ia kabari adalah Fajar.

Fajar pun sangat gembira ketika mendapat kabar bahwa Icha lulus dan masuk dalam urutan 10 besar. Apalagi setelah Fajar mengetahui bahwa ia menjadi orang pertama yang diberitahukan Icha, Fajar terlihat semakin gembira. Lalu, dua bulan kemudian, Fajar memutuskan untuk menyatakan perasaannya kepada Icha.

****

Sabtu sore itu Icha sedang mengikuti les Fisika di sekolah. Dan tak seperti biasanya, Fajar sengaja datang menjemput Icha dengan maksud untuk mengutarakan apa yang selama ini ia rasakan. Saat Icha sedang berjalan menuju gerbang sekolah untuk menunggu ayahnya menjemput, Icha tiba-tiba berhenti dan tersenyum. Dari kejauhan ia melihat seorang laki-laki yang sedang duduk di atas motor dan Icha seperti mengenali orang itu. Hatinya berkata bahwa orang itu adalah Fajar. Tetapi, setelah semakin dekat, Icha seperti kebingungan karena ia tak mengetahui bahwa Fajar telah berada di Sintang selama tiga hari. Berarti dugaan Icha benar, Fajarlah yang datang menjemputnya.

Fajar memang sengaja tak memberitahukan perihal kedatangannya kepada Icha. Ia ingin memberi kejutan dan tanpa sepengetahuan Icha, Fajar telah meminta izin terlebih dahulu kepada orang tua Icha untuk menjemput Icha les di sekolah. Keluarga Icha dan keluarga Fajar memang sudah kenal baik, maka tak dipungkiri jika izin dari orang tua Icha sudah pasti diberikan.

Setelah sesampainya di rumah, Fajar ingin melewatkan malam minggu ini bersama Icha. Karena perasaan rindunya selama ini terhadap Fajar, Icha pun langsung menganggukkan kepalanya. Fajar pun tersenyum dengan sangat manis.

“Cha, nanti malem aku jemput kamu sekitar jam 7. Jangan lupa dandan yang cantik ya…,” kata Fajar sambil berjalan ke halaman depan rumah dan langsung pergi begitu saja meninggalkan Icha yang masih berdiri mematung di teras rumahnya.

Dimalam harinya, Icha tampak sedang sibuk berdandan agar tampil sempurna di hadapan Fajar. Jam menunjukkan pukul 19.00, Icha sudah selesai bersiap-siap dan berdiri di depan kaca sambil bergaya layaknya seorang model. Sudah 5 menit Icha menunggu, namun Fajar tak kunjung menjemput. Tiba-tiba handphone Icha berbunyi, ternyata sebuah pesan dari Fajar.

Cha, coba kamu keluar deh sekarang..

Icha pun segera keluar, namun ia tak menemukan Fajar di sana. Hanya secarik kertas yang terselip di tangkai bunga mawar yang tumbuh di teras rumah Icha. Karena penasaran, Icha segera memungut kertas tersebut dan membaca isinya.


Ikuti petunjuk di bawah ini:

Teruslah berjalan mengikuti jalan setapak yang ada di depanmu.
Berbeloklah ke kiri hingga kau temui persimpangan dua jalan.
Ambillah jalan kiri untuk melihat petunjuk selanjutnya.
Icha semakin penasaran dan terus mengikuti petunjuk berikutnya.
Dengarlah lantunan merdu ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Pandanglah ke arah utara, teruslah berjalan hingga lantunan merdu itu terdengar samar-samar di telingamu.
Lalu, berbeloklah ke sebuah tempat yang selalu engkau kunjungi setiap hari, terkecuali minggu.

Icha terus berjalan mengikuti arah petunjuk itu sampai petunjuk itu berakhir. Lalu, sampailah Icha ke tempat yang ada di petunjuk itu. Tak ada satu pun lampu yang menyala, semuanya tampak gelap gulita. Timbul rasa takut di benaknya, dan ingin rasanya ia kembali. Tetapi rasa penasaran Icha mengalahkan ketakutannya sendiri. Icha memberanikan diri untuk terus mengikuti petunjuk terakhir itu, hingga ia sampai di depan gerbang sekolah.

Samar-samar terlihat bayangan seseorang yang datang mendekat ke arah Icha. Kemudian terdengar suara dari arah bayangan tersebut, “Finally, you found me.”

Tiba-tiba serangkaian lampu menyala dan menghiasi lapangan basket. Terdapat meja bundar dan 2 buah kursi di tengah-tengahnya. Icha terkejut bukan main, ia tidak menyangka bahwa akan ada seseorang yang memperlakukannya seistimewa ini. Terlebih saat ia mengetahui sosok bayangan tersebut. Ya, sosok  itu adalah Fajar.

Dengan sopan, Fajar meraih tangan Icha dan menuntunnya ke arah meja yang telah tersedia. Kemudian, Fajar menarik sebuah kursi dan mempersilakan Icha duduk.

Di meja itu terdapat kue brownies kesukaan Icha, dan es krim tiramisu yang terletak di atasnya. Sungguh membuat Icha semakin kagum dengan Fajar. Fajar yang terkesan sangat biasa berubah menjadi romantis seketika.

Fajar dan Icha mulai berbincang-bincang sembari menikmati hidangan yang telah disiapkan. Di tengah perbincangan, Fajar tiba-tiba berhenti menikmati hindangannya. Lalu terdengar alunan musik romantis dari Daniel Bedingfield yang berjudul If you’re not the one yang entah dari mana asalnya. Fajar menghampiri bangku Icha dan berlutut di sampingnya sembari berkata, “Would you be my girl friend?”

Icha terdiam sejenak dan menatap raut wajah Fajar. Ia seakan tak percaya dengan apa yang sedang terjadi, hingga Icha mengambil keputusan akhir.

“Ya, I do.” jawaban yang sangat singkat dan jelas terdengar diucapkan oleh gadis cantik yang memiliki mata berwarna coklat tua itu sembari mengeluarkan senyuman manis yang sangat memikat.

Fajar senang bukan kepalang, ia segera merogoh kocek sakunya dan mengeluarkan liontin berbentuk hati. Dengan hati-hati ia memasang kalung tersebut ke leher Icha. Ia terlihat sangat cantik mengenakan kalung itu. Malam itu merupakan malam terindah yang tak pernah dilupakan Icha seumur hidupnya.

****

“Sayang, kamu hati-hati ya di sana. Kalo udah sampe, jangan lupa kabarin aku.” kata Icha sedih. Kilauan air mata tampak menyelubungi matanya yang sipit itu.

“Iya, kamu tenang aja. Sesampainya aku di sana, aku pasti kabarin kamu kok. Kamu hati-hati juga di sini. Inget, jangan selingkuh! Oke honey?!” kata Fajar sambil tersenyum. Melihat Icha yang hampir menangis, Fajar pun langsung memeluk Icha. “Jangan nangis lagi dong sayang… aku pasti setia kok sama kamu. Jangan lupa shalat tepat waktu ya, belajar yang rajin…. Biar honey bisa cepet nyusul aku , hehehe.” lanjut Fajar lagi.

3 hari setelah malam itu, Fajar harus kembali ke Pontianak karena tiket pesawat untuk keberangkatan ke Malang sudah dibocking oleh orang tua Fajar. Berat rasanya bagi Icha untuk melepas kepergian pacarnya. Air mata itu akhirnya keluar juga dari mata beningnya. Air mata kesedihan akan seseorang yang sangat disayanginya, pergi untuk waktu yang entah sampai kapan.

****

Tak terasa, 2 tahun telah berlalu. Kini Icha telah menduduki kelas XII. Hubungan asmara Icha dan Fajar semakin dekat, dan tak ada hambatan yang serius. Semua masalah dapat mereka selesaikan. Begitu juga dengan hubungan persahabatan Icha dan Nadya. Dunia maya sebagai jembatan penghubung diantara mereka. Berbagai wall dan pesan menjadi perantara untuk selalu menyambung silaturahmi yang terpisahkan oleh jarak.

Tapi, semua itu berubah semenjak….

“Aduh, ni mobil kenapa sih? Pake’ mogok segala lagi!” keluh Nadya.

Jarum jam semakin cepat bergerak detik demi detik. Waktu seakan tak bisa dihentikan, hati Nadya yang semula tenang berubah menjadi kekacauan. Pikirannya tertuju kepada belahan hatinya yang sedang bertarung mempertahankan gelar yang selalu diraih sekolahnya. Detak jantungnya kian melaju bak sebuah genderang perang yang bertabuh dengan kencangnya.

****

“Huh, pasti Icha nih yang nelpon. Kambuh lagi deh penyakit gak sabarannya….” gumam Fajar.

Ringtone handphone Fajar yang semakin keras berteriak membuat Fajar yang sedang mengendarai motor segera menghentikan kendaraannya ke pinggiran jalan dan mengambil handphone, lalu menerima panggilan.

“Halo, kenapa Nad? Tumben banget nelpon aku, kangen ya?? Udah deh, aku tau kok, aku emang ngangenin… hahaha.”

“Ya ampun, ni orang masih sempat becanda. Kamu lagi dimana, Fa? Aku butuh kamu sekarang!” tegas Nadya kepada Fajar.

****

Tak lama kemudian, Fajar pun langsung meninggalkan tempat itu dan melaju ke tempat dimana Nadya berada.

“Ih lama’nye budak ni….” Nadya kembali mengeluh.

“Wah, masih ingat bahasa melayu, Nad? Biasanya pake’ loe-gue gitu  ngomongnya. Haha.”

“Udahlaa… nggak perlu dibahas juga. Cepetan dong, ntar aku telat… ntar aku gak bisa liat dia berjuang….”

“Sorry, Nad. Aku gak bisa antar kamu ke Indor. Aku harus jemput Icha di smanta. Ntar dia marah kalo aku telat, kamu kan tau sifat Icha sekarang gimana….” Fajar mencoba memberi penjelasan kepada Nadya.

“Ayo lah say… udah mau telat nih. Kita kan udah lama gak ketemu. Sekali-sekali juga kamu bantuin aku. Please… demi aku….”

Akhirnya rayuan Nadya mampu meluluhkan keteguhan hati Fajar. Meski dengan ragu-ragu, ia pun memutuskan untuk mengantarkan Nadya ke Indor.

****

Sementara itu, Icha yang sudah lama menunggu di samping mushala terlihat tak lagi sabar. Ia melirik ke arah jam dinding yang ada di mushala, ternyata jam sudah menunjukkan pukul 15.00. Nadya tak ingin menunggu lebih lama. Amarahnya semakin memuncak, emosinya tak terkendalikan. Suasana hati yang semula tenang mulai berkecamuk menderu kencang. Sambil menggerutu sendiri, perlahan ia menyusuri langkahnya dan bergerak pergi menjauh dari mushala itu, tempat biasa Icha menanti kedatangan sang pujaan hati selama seminggu ini.

Dengan langkah gontai sambil melihat ke arah jalanan yang berdebu, Icha tiba-tiba merasakan sakit yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Lalu, tampak dari kejauhan seorang lelaki yang membonceng perempuan berambut hitam kemilau melintasi gerbang sekolahnya. Icha pun menghentikan langkahnya, ia terdiam sejenak. Kemudian, berlari secepat mungkin agar bisa lebih cepat sampai ke gerbang sekolah.  Dipandanginya nomor kendaraan roda dua  tersebut dengan sangat lekat. Tak salah lagi, Fajar dan Nadya lah yang baru saja lewat. Tapi, apakah itu Nadya? Jika itu memang Nadya, tak mungkin ia tak mengabariku bahwa ia akan datang. Mungkinkah Nadya mengenal Fajar? Sebenarnya ada apa dibalik kedekatan mereka? Bukan, itu bukan Nadya. Icha mencoba meyakinkan dirinya. Tapi, jika itu bukan Nadya, lalu siapa yang dibonceng Fajar?

Kepercayaan Icha terhadap Fajar perlahan memudar. Perasaan cinta dan benci mulai berkecamuk, ngilu terasa menusuk tulang. Waktu mulai jemu dan tak ingin lagi membantu. Kata seperti sudah tak bermakna. Cahaya cinta mulai padam tersiram keangkuhan. Perlahan sakit, hatinya sekan mati. Icha segera berlalu meninggalkan lingkungan sekolahnya.

Tak lama setelah Icha pergi, tampak seseorang mengendarai motor Ninja berwarna merah datang dari arah gerbang sekolah. Melaju kencang dengan motornya seolah ingin mendahului waktu agar tak terlambat menuju mushala untuk menjemput seseorang. Namun, ketika sampai di tempat tujuannya, ia tak menjumpai seseorang yang ia cari. Yang tampak hanyalah rumput-rumput yang sedang bernyanyi merdu dan pepohonan yang menari indah karena tertiup angin.

Tanpa berpikir panjang, Fajar segera memutar motornya dan pergi tanpa menghiraukan keadaan sekitar untuk kembali mencari seseorang yang selama ini mengisi ruang hatinya yang telah lama kosong. Di sepanjang perjalanan, Fajar tampak sangat gelisah. Konsentrasinya terlihat semakin buyar ketika mengendarai motornya. Ia berusaha mengejar Icha secepat mungkin, tanpa mempedulikan kecepatan motornya melaju.

Sekarang posisi Fajar tepat 10 meter di belakang Icha, Fajar tersenyum. Ia menambah kecepatan motornya agar semakin cepat sampai. Dan kini, Fajar berada 1 meter di belakang Icha. Icha berusaha mempercepat langkahnya, ia mencoba tak menghiraukan suara seseorang yang selama ini selalu menyuguhkan cinta yang sangat dalam kepadanya.

“Cha… Icha… Icha sayang…. Kenapa kamu gak nungguin aku? Aku udah nyari kamu di sekolah, tapi kamu gak ada honey….” Fajar merayu Icha seolah tak melakukan kesalahan apapun. “Sayang, ikut aku yah…. Tungguin aku dong sayang. Jangan ngambek gitu….” laju motor Fajar perlahan semakin berkurang agar tetap bisa berada di samping Icha.

Langkah kaki Icha tiba-tiba terhenti. Dihirupnya udara sore yang tak lagi segar, ia mencoba menyusun banyak kata yang akan menjadi sebuah kalimat yang panjang dan cukup tidak enak didengar.

“JANGAN PANGGIL AKU SAYANG LAGI!! Sekarang kamu udah punya pacar baru kan? Mana janji kamu 2 tahun yang lalu? Kamu bilang kamu gak akan selingkuh!! Tapi nyatanya apa?? Kamu gak bisa menuhin janji kamu sendiri!!! Udah, jangan ikutin aku lagi!! Aku gak mau pacaran sama pembohong kayak kamu. Ternyata sikap dewasa seseorang gak bisa dijadiin patokan untuk menilai gimana sih orang itu sebenernya.”

“Cha, dengerin penjelasan aku dulu….” belum sempat Fajar menjelaskan apa yang telah terjadi, tiba-tiba sebuah mobil yang datang dari arah berlawanan melaju kencang dan… BRAAAKK!!! Kejadian naas itu menimpa sepasang kekasih yang sedang mencoba menyelesaikan kesalahpahaman. Kemudian mobil tersebut berhenti dan segera membawa korban ke Rumah Sakit.

****

4 hari setelah kecelakaan itu, Fajar masih terbaring lemah di ruang VIP dan di sampingnya tampak seorang gadis yang duduk di atas kursi roda sedang membacakan novel. Fajar memang belum sadarkan diri semenjak peristiwa naas itu, kondisinya sangat kritis. Tapi, Icha tetap setia menemani Fajar dengan membacakan novel-novel kesayangan mereka berdua. Perubahan sikap Icha dikarenakan penjelasan dari sahabat dunia mayanya, Nadya.

Ternyata sehari setelah Nadya mendapat kabar dari keluarganya bahwa Icha dan Fajar sedang tertimpa musibah, Nadya langsung mengajak pacarnya menjenguk ke Rumah Sakit. Icha yang hanya mengalami patah kaki sebelah kiri dan sedikit depresi sempat terlihat shock saat melihat kedatangan Nadya yang menggandeng seorang lelaki tampan keturunan Arab.

“Ka… kamu, kamu Nadya kan?” tanya Icha dengan terbata-bata.

“Iya sayang, ini aku Nadya, sahabat kamu…. Hmm… kenapa bisa kayak gini, Cha?”

“Kapan kamu dateng, Nad? Kenapa kamu gak kabarin aku?” bukannya menjawab pertanyaan Nadya, Icha malah balik bertanya.

“Ya ampun Icha, gak penting banget sih ngabarin kamu, hihihi,” cekikikan Nadya membuat Icha kembali tersenyum, “Sebenernya aku pengen ngasi surprise ke kamu sayang, tapi malah kejadian yang kayak gini…. Maafin aku ya, Cha….” masih dengan kalimat yang sama seperti beberapa tahun yang lalu.

“Iya Nadya cantik… gak apa-apa kok, ini bukan salah kamu.”

“Oh ya, kenapa kamu gak seruangan sama sepupu aku, Cha?”

“Sepupu kamu yang mana? Emang kamu punya keluarga, Nad? Hehehe.”

“Maksud loe??? Hahaha. Punya dong, Fajar kan sepupu aku, Cha. Oh ya, kenalin nih pacar aku, namanya Fardhan.”

Nadya hanya diam, ia tak mempedulikan Nadya mengenalkan pacarnya. Ia hanya tersenyum dan fokus dengan kata “sepupu aku” yang baru saja diucapkan Nadya. Sepupu? Nadya sepupunya Fajar? Kalo emang bener, kenapa mereka gak pernah cerita sama aku?  Di pikiran Nadya kembali menumpuk sejuta pertanyaan yang ingin ia keluarkan sesegera mungkin.

“Cha, kamu gak tau ya kalo aku sepupunya Fajar? Sebelum kejadian ini, aku minta tolong sama Fajar buat nganterin aku ke Indor, Cha. Mobil aku mogok, hehehe. Awalnya Fajar gak mau nganterin aku, dia bilang kamu udah nunggu dia jemput. Tapi aku tetep maksa Fajar, aku pengen nonton Fardhan tanding basket di Indor, Cha. Maaf ya, kalo udah buat kamu salah paham.” Nadya mulai menjelaskan kepada Icha tentang kesalahpahaman di antara Icha dan Fajar.

Tanpa perlu mendengarkan penjelasan lebih panjang dari Nadya, Icha segera meminta Nadya mengantarnya ke ruang yang hanya berjarak beberapa meter dari ruangannya. Sesampainya di ruangan Fajar dirawat, Nadya dan pacarnya sengaja pergi meninggalkan Icha dan Fajar di ruangan yang cukup luas itu.

Di samping Fajar, Icha menangis sejadi-jadinya. Ia sangat menyesal dengan semua yang telah ia lakukan terhadap Fajar. Digenggamnya tangan Fajar dengan penuh kelembutan. Jendela hati Icha yang telah tertutup perlahan mulai membuka, segala luka dan benci telah terlempar keluar. Serpihan-serpihan kepercayaan yang hampir menghilang kembali tertata rapi di ruang hati Icha. Icha akan selalu ada di samping Fajar, ia kan setia menunggu walaupun warna pelangi di langit barat telah memudar.

******

Karya: Vebrian Noviasari

No comments:

Post a Comment

Ditunggu comment dari kalian, gratis :)